Popular Post

Archive for 08/31/15

Syair Al Hallaj

By : Unknown
Ana Al-Haqq, Al-Hallaj
Aku adalah Dia yang kucinta dan
Dia yang kucinta adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku

Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya,
membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan baginya makhluk-Nya,
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur disatukan dengan air murni.
Jika sesuatu menyentuh Engkau,
ia menyentuhku pula,
dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku
Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.

Sebelumnya tidak mendahului-Nya, setelah
tidak menyela-Nya, daripada tidak
bersaing dengan Dia dalam hal
keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia,
ketidak menyatu dengan dia, Dia tidak mendiami Dia,
kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia,
atas tidak membayangi Dia,dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia,
didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia,
dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia,
ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian
tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia
mendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas.

Di dalam kemuliaan tiada aku,
atau Engkau atau kita,
Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.
Fana’i Fana’i Fana’
Kehinaanku adalah KemuliaanMu
Kehilanganku adalah KerinduanMu
Ketiadaanku adalah KeabadianMu
Kepedihanku adalah CintaMu
Kekuranganku adalah KelebihanMu
Kesendirianku adalah pertemuanku denganMu
Kematianku adalah kebangkitanMu
Kebisuanku adalah TitahMu
Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku…

Selepas Ekstase (Junaid al-Baghdady)

By : Unknown
Selepas Ekstase (Junaid al-Baghdady)

Orang-orang menyebutku Sufi, saat kukata
Darahku terdiri dari Allah. Seluruh bulu romaku
Bakal masuk Surga. Dan bagai Rabi’ah : kutaktakut Neraka
O,mata mereka berbinar. Syahwat mereka nanar
Inilah susahnya hidup di tengah-tengah masyarakat keledai
Sebab terlalu silau dan terpukau oleh matahari bumi
Mereka tak sekalipun membutuhkan tongkat Musa
Sebab mereka berjubah Al-Hallaj. Dan puas menari
Dalam irama khusu’ Rumi
Hu, hu,hu,… … …

Aku stres, wahai kekasih. Kehilangan kata-kata
Di samudra kalimat-Mu. Aku menjadi gila pada suatu hari
Berteriak disudut-sudut kota yang hangus oleh nista
Ingin lari dari kungkungan para keledai. Ingin mencari
mukjizat Nabi : mendaki Tursina-Mu
berharap nemu tongkat gembala, lalu ngangon keledai dungu itu
di padang-padang kebenaran yang telah mereka lupakan
… … assalamu’aika !
kuketuk pintu Kau dalam ekstase panjang. Rabbi, anta maksudi
mereka makin terpukau. Hu, hu, hu, … …
merekamnya dipita-pita kaset. Memutarnya dikedai-kedai kopi
atau diatas pentas puisi. Menenggelamkam diri
dalam kebahagiaan semu di lautan yang tak mereka pahami
sembari mengunyah dunia

: “Pinjami aku tongkatmu, Musa
biar kubelah laut kebodohan
yang jadi batas kebenaran
melangkahi rumah nurani
di kedalaman samudera hati.”

Aku gila, wahai Kekasih. Aku gila !!
Tapi mereka keledai semakin tak sadarkan diri
Mengumbar gairah duniawisepanjang hari. Hu, hu, hu, … …
Menari-nari Rumi. “Ngigau jadi Rabi’ah
Tak takut Neraka, tak butuh Surga
Mereka tegang dalam birahi. Kemaluannya menerobos hijab
Dan tak lagi mampu menyimpan rahasia. Menggelinding
Dan pamer di panggung-panggung kolosal sekaligus murahan
Mendengus sana sini. Ngiler kesana kemari hingga puncak orgasme
Kian menjauhi bukit Tursina yang menyimpan cahaya
Tambah peduli pada kalimat ekstaseku
Sambil histeris menoreh daging diri mereka kaligrafi
Yang kehilangan makna : Allah, Allah, Allah, … …

Aku gila sekaligus takut. Rabbi !
Mereka mengeja bibirku sebagai Kitab Suci : anta maksudi
Mereka membaptisku sebagai Sufi Sejati. Mereka ingin menyatu
Keledai itu mengunyahku santai-santai bagai mngunyah dunia busuk ini
: “Pinjami aku wahai Musa

walau sebentar tongkat saktimu. Biar kungebut
mendaki bukit-bukti kehidupan para keledai
yang tengah asyik bersenggama dengan dunia
yang teler tanpa ingat akan cahaya di Tursina.”

O, ekstaseku direkam dalam berlusin pita
Dibuat makalah : didiskusikan dengan sejumlah seponsor
Dibumbui referensi busuk duniawi. Dijadikan nara sumber
Dibedah dari berbagai sudut ilmiah semu di hotel brbintang
Hu, hu, hu, … …

Mereka yang mengaku anak cucu sufi itu larut
Sambil memangku para betina. Menjelma menjadi binatang
Yang belajar bicara macam manusia. Membuat kesimpulan
Tentang perlunya sejarah baru yang baku
O, mereka makin lepas landas. Mengingkari banjir bandang
Yag menyelamatkan Nuh. Mengingkari kulit mulus Yunus
Yang terhindar dari runcingnya gigi ikan buas
Mengingkari azab. Mengingkari angin, petir dan bumi
Yang berguncang. O, aku menyaksikan
Wajah-wajah kaum A’ad dan Tsamud di tengah-tengah mereka

Aku seperti tengah menonton Qorun dan Fir’aun berpidato di mimbar
Aku bagai sedang diracuni puisi Ubay bin Kalaf yang berapi-api
Maka aku berteriak keras-keras terhadap mereka. Mencaci-maki
Mengasa ayat-ayat suci jadi pedang yang tajam
Dan menuding-nuding kewajah mereka dengan rasa jijik
O, para keledai itu sangat profesional dengan peranannya
Tak sedikitpun gentar, malah sebaliknya. Mereka kini mengamuk
Ke arahku, wahai Kekasih. Sekejap membuatku terpana
Bagai menyaksikan reinkarnasi penderitaan Nabai-Nabi

O, langit-Mu menggelarkan episode masa-lalu. Ada wajah Zakariya
Yang digergaji. Ada wajah Isa yang disalib
Dan tangan-Mu menyibak hijab dalam potret nurani: Langit
Diserbu darah suci mereka. Lapis bumi teratas merubah diri jadi sayap.
Membawa terbang kebenaran ke gerbang mahligai-Nya
Dan al-Hallaj merintih dibanjir Tigris yang dia ciptakan
Dan Rabi’ah mati diatas sajjadah kesederhanaan
Ditikam cinta dan airmata ketakutan.

Begitu lama kutunggu akhir kegilaan ini, wahai Kekasih
Sebuah penantian yang panjang yang nyaris membuatku bosan.
Sambil mencatat semua tingkah-Mu terhadapku. Malam-malam Enkau menarik
selimut tidurku dengan sebuah bisikan itu ke itu : “Bangunlah
Aku menanti kau di langit pertama-Ku.” Lantas aku
menggeliat membuang tahu dunia di kedua pinggir mata hatiku
Menepis mimpi-mimpi masyarakat yang melenakan sejak awal malam
Membasuh semua kepalsuan dengan bening air suci Kau.

O, didalam diri aku ambruk Sujudku basah
Di tas sajjadah bumi-Mu. Menikmati batin
Yang kini sejuk tersiram kasturi cinta nurani tatkala suluk
(saat kuterjaga, jasadku jadi kelaparan
selepas ekstase daku mencakar-cakar ladang dunia buat kehidupan).

KEPADA YEHUDA AMICHAI

By : Unknown
Ahmad Faisal Imron




KEPADA YEHUDA AMICHAI


di hari penebusan, 1967 itu
kau menyesali semua yang tinggal debu
di kota tua Yerusalem


di negeri mesiu


pagi :
yang tinggal gema, sisa tangis di udara
secangkir kopi dan setelah itu pun terbaca
merah pelangi Laut Jawa melintas di mataku

malam :
mimpi hitam, runcing tubuh
bunyi gemetar lutut di sepanjang subuh
sepanjang mata dan bibir terkesan rapuh


sepanjang tak ada akhir, dan nyatanya…


tak ada rabi, tak ada jiwa yang mengabarkan nyeri
bahwa hitam, hitam hanyalah sebuah penyamaran
kota menjadi dingin batu, di pinggir rumah-rumah
debu bergulung merah, sengat amis darah itu
jamuan bagi burung-burung yang lepas amarah


dan seakan tak ada akhir


dan seakan-akan inilah hari pertama:


12.00
di siang muram…


apakah ada restu di jejak sepatu
tas yang tak menyimpan mesiu
bumi di hari ini, yang mulai anyir
doa di saat laju kereta, di formulir
dan sisa tinta di jari yang ungu
di selatan, semoga Yahweh tersipu


empat belas gerbong dipaksa melaju dalam hujan
menguap di atas rel-rel yang berkeringat
hingga di stasiun yang sebenarnya, hanya geming
dan sesekali mereka menyadari bahwa firman tuhan
hanya bergema di gereja-gereja dan sinagog tua


di langit petang
para lelaki dan perempuan itu
dipaksa lari telanjang


di bawah senapan, sepertinya
tak mungkin ada yang bisa
mengais igau, meraih mimpi


pada aklamasi Mei yang ke-33


lalu anak-anak dengan wajah manis mereka
langit seakan bercahaya dan memberi sedikit arti
para petinggi tentara dengan culim dan kumis lentik
geliat bayonet, dayang-dayang atau segala macam daulat itu
memaksa mereka bahwa di sini dan sejak saat ini
tak ada agresi ataupun rasa harus memiliki


langit kembali dihinggapi sunyi


kereta berlumur dingin


07.30
setelah hari itu…


matahari menjajaki semesta
bulan terpisah dari embun
tuhan di sinagog yang sepi
langit yang sepi, dan jejaknya
doa yang tak sampai di hari ini
tinggal renung di pipi lesung
di dada-dada yang murung
tapi masih bergelas-gelas susu
buat anak-anak kami
yang menunggu giliran mati


sebuah kamp, sebuah lapangan cokelat, di situ
cahaya terpantul dari 1000 ujung senapan
dalam cekang dan penuh disentri, mereka taat berjalan


di basah lumpur dan bilur
dan esok yang tak mungkin elok


pada mulanya
ajal hanya mengintip dari balik balkon
pada mulanya
hanya fiscal atau selembar tikar
demi tubuh di sisa lelah
siang yang tak terbelah


yahweh, dan yahweh tak kunjung tiba!


beribu-ribu ambulan hanya menjerit dalam ilusi
jarum jam selalu terlambat dan hari-hari begitu berat
entah sampai kapan jejak bilur ini mereda


ada sepasang kekasih yang direstui dalam pernikahan gawat
selalu berangan bunga-bunga menyirami hatinya di pagi hari
di atas kolam yang putih bersih, anak-anak
kemudian bermain air, bermain bola-bola kecil
dan seakan hari tua bagai membayang di bening marmer
di sebuah rumah yang bertabur cinta dan hangat mentari


yahweh, engkau seakan membujuk kami, agar selalu berdoa


bebaskan kami dari gembok
yang semakin hari semakin berkarat


bebaskan kami dari darah
di hati yang tak musnah


dan hari meninggalkan hari
berganti menjadi kekosongan
yang abadi, di kota api


di Pakta Munich, di mimpi-mimpi yahudi
setiap malam tinggal maut dan nyeri merenggut
pada matanya tertampung gelap kabut dan amuk badai
di tubuh-tubuh kuning janur itu, anak-anak
dan sisa perawan pada hasrat exodus yang tak letus


gelap kabut dan amuk badai
bersambung menjadi jutaan peluru


hymne para ibrani itu pun
bergulung di lubang-lubang maut


dan di enam puluh tiga kota, hari-hari
tak menyisakan desir angin bahkan kicau burung
daun-daun bagai silalatu beranjak ke dalam fana
gemuruh serdadu dan air ludah yang menyembur
seakan di sinilah seluruh bilur


yang tak juga ansur


mata manusia, di kamar-kamar gas
di bumi tanpa cahaya, di pengasingan yang luas


mata tuhan, yang tak mengirim ibu
dengan tangis di matanya yang sayu


dan mungkin menyesali, di isi bumi
kenapa tak tak seluruhnya bunga atau merpati


16.00
waktu, teramat tabu…


langit hitam, brigade kelam
seorang jiran di luka penghabisan
semangat yang beringsut
di senapan dan tuan-tuan
di fosil dan remang kabut
semoga saja ia menyimpan kasih
abolisi yang mungkin beralih


dan hanya satu-satunya seorang saudagar
yang dapat mengobati kepedihan mereka
dengan jas hitam dan meski langkah terpatah
langit dan detak jantung seakan kembali merekah
sebuah nyanyian kebesaran mereka
kembali terdengar di langit malam dan aula
mengeringkan darah dan roh yang tersisa


mereka terbangun-tersipu
salju berkunjung dalam mimpinya
tuhan Abraham, tuhan Moses
tuhan Jesus yang di bukit tabor


o, tuhan yang terlupakan!


kenapa engkau selalu tak mendengar
tangan dan tubuh busung kami memang masih berdarah
rasanya telah bosan menghirup aroma bangkai saudara kami
yang terpanggang atau terhimpit dalam lumpur
rasanya hitam tak lagi sebuah penyamaran
rasanya rabi, pastor dan seluruh utusan tuhan
dingin kota, fosil-fosil, mimpi anak-anak
lumpur semerah delima, kilau ujung senapan
sisa abolisi juga langit di hari-hari yang pahit


selalu, bulan memerah
tangis yang merah


dan empat belas gerbong itu
kembali menunggu untuk diberangkatkan
semoga dalam hujan


ada salju di utara
yang mungkin dapat menjadi sedikit penawar luka
seribu batalion yang selalu terpatung di mata mereka
dimaknai sebagai penebus dosa, gelisah yang beslah


10.00
empat hari sebelum pembebasan…


sisa harap di tungku yang gelap
semisal asap di kuning langit
di lembab kereta yang mulai berasap
bahkan ada yang mungkin terlupa
sebenarnya, luka hanyalah alasan lain
di saat tak ada lagi hamparan bumi
yang menyerap cahaya mentari


benarkah ini hari-hari sebelum pembebasan?


cahaya pagi membayang tersalib dari sebuah jendela
seorang instansi dengan sebuah mesin tik yang lapuk
menulis nama-nama yang tersisa, yang mungkin saja
akan ada semacam harapan lain bagi anak-anak
bagi sebuah negeri yang telah mati


para leluhur kami, anak cucu kami
dan hanya mimpi yang menorehkan luka
mungkin juga mereka menyesali
kenapa di bumi yang sehijau ini
tak ada seorang utusan dan kenapa tuhan tak berseru
hutan dan perbukitan akan kembali dicintai burung-burung
seribu sungai berkelok putih dalam mimpi anak-anak


tapi di kota tua kenanganmu, 1967 itu, Yehuda!
orang-orang masih berjalan di pinggir toko dan berbaju gelap
sambil menghindari perang yang semakin hari semakin silap


nampak orang-orang berjejer kaku dan tak bicara
di sebuah makam, menyusun doa, menyusun batu
setangkai mawar, cahaya mentari, dan hidup
dan bunyi lonceng di sinagog itu, semoga tidak sendiri


semoga kereta itu tak menjadi rumah abadi



Sumber : http://komunitas-malaikat.blogspot.com/2010/02/kepada-yehuda-amichai.html#more

- Copyright © istitute boil loob - Time Oprud - Powered by Blogger - Designed by Ngopi Udud -