- Back to Home »
- Gerbang Cinta Para Wali
Posted by : Unknown
Kamis, 20 Agustus 2015
Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya
mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun
melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang
seperti puncak gelombang
Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai,
terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari
sanubari kita sendiri.
Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah
gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara:
“Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah,
memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang
cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang
berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:
“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi
lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang
membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan
keagungan-Nya.
Dia pula yang menghamparkan padang
ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya.
Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga.
Taman itu penuh dengan
lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka
berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam
keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam
tarian Lautan Jabarut-Nya.”
Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti
yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka
gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang
membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya,
sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas,
keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari
haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad
semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka
tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya.
Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan
dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka
termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah
diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka
ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan
terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka
terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi
obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”
Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata
bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat
seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi
Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya
lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang
menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan
Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.
Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai
“tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di
antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan
sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar
biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak
memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya
adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah,
dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.
Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena
metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat
kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang
syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas
geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan
datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti
Sunnah Rasulullah SAW.“
Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu
yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas
ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah.
Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha
tertentu dari hamba Allah.
Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah
pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran
ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah
Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena
itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya,
dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya
sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi
dirinya sendiri tidak tahu.
Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada
yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut
Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang.
Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap
seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi
jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.
Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak
ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan
psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.
Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah
meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful
Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu
dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh
mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang
dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa
yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan
kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah
bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”
“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup
bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui
musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada
Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah
telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa
sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14).“Apakah kamu tidak cukup
dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS.
Fushshilat: 53). Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus
mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai
Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu
memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas
tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu
Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul
Abbas al-Mursi.
Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi
rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para
Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang
yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam
kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi
Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS.
Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”
Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad
pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul
Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan
mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan
Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.
Ragam Para Wali
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan
berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam
kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika
membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala
menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan
tentang Wali Quthub.
“Apa makna Quthub itu wahai
tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka
sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.
Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya
bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya
nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan
enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:
1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat
diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2)
Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di
antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.
Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali.
Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan
adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan
amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang
bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain),
2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara
maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.
Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan
paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas
dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan
batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4)
‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi
empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.
Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid
(hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u
(berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.
Ragam lain dari para Wali ada yang disebut
dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan
Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa
memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur ketimbang
kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang
ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub.
Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir.
Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.
Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran
hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.
Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu
seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat
membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat
Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat
diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais
al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub
manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.
Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka
yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia
lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu
mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan. Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat
spesial, di luar pandangan dunia Quthub.
Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal
Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur
(Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha),
dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian
Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma,
huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya
matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim
dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat,
baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah
ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan
Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .