- Back to Home »
- Biografi Syekh Ibnu Atha’illah As-sakandari
Posted by : Unknown
Senin, 24 Agustus 2015
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah
As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal
di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya
itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari
beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas
Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili,
pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai
Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh
tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang
pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,
dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam.
Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali
disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi,
Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir,
Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul
Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan
terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali
terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah
adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu
Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah.
Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi
orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili
setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas
Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah
tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah
dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab
dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer
di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi
bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk
menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap
kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam
paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul
Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya,
kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang
mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah
dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh
dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat
berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf
pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan
kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal
pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam
kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal
rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa
syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya
sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh
sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu
tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada
asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan
moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya
zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para
sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia
adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan
hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b)
dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang
dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang
kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang
salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan
jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak
bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika
mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha
menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk
dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan
diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki
empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa
melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu
bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa
ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya
sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu
ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui
ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Sumber: Republika.co.id